Pages

Senin, 17 Desember 2012

Hal-Hal yang Dilarang Ketika Haid



“Wanita haid itu nggak boleh potong kuku!”

“Perempuan yang lagi haid nggak boleh keramas lho!”

“Eh… kamu lagi haid ya? Kalau lagi haid itu nggak boleh tidur siang lho!”

Pasti saudariku pernah mendengar mitos-mitos seperti ini ketika sedang haid. Ada yang bilang kalau sedang haid tidak boleh memotong kuku lah, mencuci rambut lah, memotong rambut lah, sampai nggak boleh tidur siang. Bener nggak sih mitos-mitos itu?

Islam adalah agama yang syumul (sempurna) yang mengatur tidak hanya masalah peribadatan tapi sampai hal-hal terkecil dan sepele pun ada aturannya. Begitu juga dengan masalah haid, semuanya sudah termaktub dalam Al-Qur’an yang diperkuat oleh As-Sunnah. Dari mulai ciri-ciri darah haid, sampai hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika sedang haid. Jadi Saudariku, tidak perlu lagi berpusing-pusing ria sama mitos-mitos yang belum jelas kevalidan dan keshohihannya.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid sendiri ada yang sudah menjadi kesepakatn ulama, dan ada pula yang masih khilaf. Namun pada pembahasan kali ini, penulis hanya akan membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Adapun larangan yang sudah menjadi kesepakatan ulama bagi wanita haid adalah sebagai berikut :

1.       Dilarang melakukan sholat dan tidak diwajibkan untuk mengqadhanya

Perempuan yang sedang haid, lepas kewajibannya untuk mengerjakan sholat, baik itu sholat fardhu maupun sholat sunnah. Dan tidak diwajibkan juga untuk mengqadha sholat, kecuali jika telah masuk waktu sholat tetapi belum melaksanakan sholat kemudian keluar darah haid. Maka wajib baginya untuk mengqadha sholat tersebut. Misalkan Tina belum sempat mengerjakan sholat Dhuhur, padahal waktu sudah mendekati Ashar, kemudian dia mendapatkan haid. Maka wajib bagi Tina untuk mengqadha sholat Dhuhur tersebut ketika ia telah suci.

Dan apabila wanita haid telah suci mendekati waktu Ashar, kemudian ketika ia mandi waktu Ashar tiba. Maka wajib hukumnya bagi wanita itu untuk mengerjakan sholat Dhuhur dan Ashar pada hari itu. Sama halnya ketika ia suci sebelum terbit fajar, ia berkewajiban untuk mengerjakan sholat Maghrib dan Isya pada malam harinya. Karena, waktu sholat yang kedua adalah waktu sholat yang pertama pada saat-saat uzur.

Jumhur ulama berpendapat –di antaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad- jika seorang wanita suci dari haid pada akhir siang, maka dia sholat Dhuhur dan Ashar. Dan apabila suci pada akhir malam, maka dia sholat Maghrib dan Isya. Seperti yang dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena waktunya sama di antara dua sholat saat uzur. Maka apabila ia suci di akhir siang, lalu waktu Dhuhur masih ada, maka ia mengerjakan sholat Dhuhur sebelum Ashar. Jika ia suci pada akhir malam, lalu sholat Maghrib masih pada saat uzur, maka ia mengerjakan sholat Maghrib sebelum Isya. (Lihat Majmu’ Al-Fatawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah)     

2.       Dilarang melakukan shaum dan diwajibkan untuk mengqadha shaum

Perempuan yang sedang haid juga diharamkan untuk shaum, baik itu yang wajib maupun yang sunnah. Dan diwajibkan untuk mengqadha shaum yang wajib (shaum Ramadhan) yang ditinggalkannya karena haid. Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda :

أَلَيْسَتْ إِحْدَاكُنَّ إِذَا حَاضَتْ لاَ تَصُوم وَلاَ تُصَلِّي

“Bukankah salah seorang di antara kamu (wanita) apabila memasuki masa haid tidak sholat dan tidak pula puasa?” (HR. Bukhari)

قَالَتْ عَائِشَة رَضِيَ الله عَنْهَا: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ» متفق عليه

‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata : “Kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat.” (HR. Muslim)

Apabila seorang wanita haid ketika sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sekalipun hal itu terjadi menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu apabila itu puasa wajib. Namun, jika hanya merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, menurut pendapat yang rajih puasanya sah dan tidak batal. Karena darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya.

Begitu juga apabila suci menjelang fajar dan telah berniat untuk berpuasa, maka puasanya sah. Syarat sahnya puasa itu tidak tergantung pada mandinya, tidak seperti sholat. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Hal ini berdasarkan haidts ’Aisyah radhiyallahu ’anha yang mengatakan :

”Pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan, Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam dalam keadaan junub karena jima‘, bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa Ramadhan.“ (HR. Muttafaq ’alihi)

3.       Dilarang melakukan thawaf

Wanita yang sedang haid juga dilarang untuk melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun sunnah, dan tidak sah thawafnya. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam kepada ’Aisyah ketika ia sedang haid :

افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجَّ غَيْرَ ألَّا تَطُوفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

“Lakukanlah segala yang dilakukan oleh orang yang berhaji. Hanya saja, engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR.Bukhari)

Adapun kewajiban lainnya, seperti sa’i antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah. Dan selain itu tidak diharamkan.

4.       Dilarang melakukan hubungan seksual

Seorang istri yang sedang haid dilarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Dan si istri yang sedang haid dilarang untuk menutup-nutupi keadaan dirinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 222 :

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran", oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam juga menyebutkan larangan menggauli istri yang sedang haid dalam haidts beliau :

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْئٍ إِلَّا النِّكاحَ

“Lakukanlah apa saja kecuali berhubungan seksual.”

Maksud dari kata nikah di sini bukanlah akad nikah, tetapi hubungan suami-istri atau jima’. Jumhur ulama juga sepakat atas diharamkannya menggauli istri yang sedang haid. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Menyetubuhi wanita nifas sama hukumnya dengan menyetubuhi wanita haid, yaitu haram menurut kesepakatan ulama.”

5.       Dilarang dijatuhi talak (cerai)

Seorang suami dilarang menjatuhi menceraikan istrinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذا طَلَّقْتُمُ النِّساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ

“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)….”

Maksud adalah seorang istri ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah. Hal ini hanya dapat dilakukakn jika istri dalam keadaan suci dan belum digauli lagi. Masalahnya, seorang wanita jika dicerai dalam keadaan haid, ia tidak siap menghadapi iddahnya, karena haid yang dialaminya pada saat jatuhnya talak itu tidaklah terhitung iddah. Jadi menjatuhi talak kepada istri yang sedang haid, haram hukumnya.

Nah, itu dia hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Nggak ada kan larangan-larangan untuk memotong kuku, mencuci rambut, memotong rambut, apalagi tidur siang! Insya Allah pada pembahasan selanjutnya akan penulis bahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang terdapat perbedaan di  antara jumhur ulama (khilafiy).
Wallahu a’lam bishowab

Sumber : Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al 'Utsaimin
-          Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa', Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsamin


6.  Membaca Al-Qur’an

Apakah wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an? Pernahkah Saudariku mendengar pertanyaan ini? Atau bahkan pertanyaan ini juga ada dalam benak Anda? Atau malah sering mendengar pertanyaan seperti ini. Wa bil khusus dalam kajian-kajian fikih wanita pada pembahasan haid, nifas dan istihadhah. Jawaban yang diberikan pun sepertinya berbeda-beda, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Terkadang perbedaan masalah furu‘ seperti ini membuat para wanita kebingungan untuk memilih dibolehkan atau tidak. Apalagi bagi perempuan yang awwam dan sudah ditanamkan sejak kecil, bahwa wanita yang sedang haid tidak diperbolehkan untuk membaca Al-Qur’an. Pasti dia merasa tidak nyaman ketika diminta untuk membaca Al-Qur’an di saat haid. Begitu juga sebaliknya, bagi wanita yang sedari kecilnya sudah diberi pemahaman bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an, maka dia akan biasa saja membaca Al-Qur’an walaupun sedang dalam keadaan haid.

Ada beberapa ulama yang tidak memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an dan ada beberapa ulama yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Adapun dalil-dalil jumhur ulama yang tidak memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur‘an adalah hadits dari Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar :

لاَتَقْرَأُ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ مِنَ القُرْآنِ شَيْئًا

“Wanita yang sedang haid dan orang yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.” (HR.At-Tirmidzi)

Tapi hadits ini derajatnya dhoif (lemah), karena di dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat bernama Ismail bin ‘Ayyas. Al-Baihaqi berkata : “Hadits ini perlu diperiksa lagi. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, menurut keterangan yang sampai kepadaku berkata : ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang diriwayatkan, sedangkan Ismail adalah munkar haditsnya, apabila (gurunya) berasal dari Hijaz dan Iraq.

Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz, maka hadits ini dhoif. (Lihat Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-SabiilI, karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani)

Jumhur ulama hadits bersepakat bahwa sanad hadits ini lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk melarang wanita haid membaca Al-Qur’an.

Adapun pendapat-pendapat yang memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
-  Hadits yang tidak memperbolehkan wanita haid dan orang yang sedang junub membaca Al-Qur’an adalah dhaif. Jadi tak mengapa apabila wanita haid membaca AL-Qur’an , karena haditsnya tidak shahih.

-  Hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata : “ Aku datang ke Makkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan thowaf di Baitullah dan Sa’I antara Shofa dan Marwa. Aku memberitahu keadaanku itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda :’Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang yang berhaji, kecuali thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadits ini, orang yang sedang haid boleh melakukan apapun kecuali thawaf di Ka’bah ketika berhaji. Dan orang yang berhaji itu berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.

Jadi, wanita yang haid tetap dibolehkan untuk membaca Al-Qur’an, baik itu dengan murajaah (mengulang hafalan) atau pun membaca Al-Qur’an untuk menghafal atau pun pembelajaran.

7. Memegang Mushaf Al-Qur’an

Dalam permasalahan memegang mushaf juga terdapat perbedaan. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang tidak memperbolehkan wanita haid memegang mushaf. Perbedaan pendapat itu berasal dari perbedaan penafsiran surat Al-Waqiah ayat 79 :

لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”

Ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan dhamir (kata ganti) hu dalam kata laa yamassuhu. Pendapat pertama, apabila dhamir hu yang dimaksud adalah Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfuzh.Maka maksud dari orang-orang yang disucikan di sini adalah malaikat. Maka wanita yang sedang haid boleh menyentuh mushaf Al-Qur’anyang ada di bumi.

Pendapat kedua, apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu  maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan adalahorang-orang Islam. Karena semua orang Muslim suci dari kemusyrikan dan kekufuran. Maka yang tidak boleh menyentuhnya adalah orang-orang kafir yang tidak ber-Islam.

Pendapat ketiga, apabila dhamir hu yang dimaksud dalam laa yamassuhu adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Kemudian yang maksud dari orang-orang yang disucikan adalah orang-orang yang suci dari hadats besar atau kecil. Oleh karena itu orang-orang yang belum bersuci dari hadats besar atau kecil tidak diperbolehkan memegang mushaf. Pendapat ketiga ini diperkuat dengan hadits dari Abi Bakar bin Muhammad bin ’Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menulis surat kepada penduduk Yaman yang di dalamnya terdapat tulisan :

لا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ

”Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.“ (HR. Al-Atsram dan Daruquthni)

Sanad hadits ini dhaif , karena sebagian sanadnya dhaif dan sebagiannya riwayat shahifah (lembaran) yang tidak ada sanadnya. Namun Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill.

Dan pendapat yang keempat, apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan adalah orang-orang yang suci dari hadats besar. Maka wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an, tetapi diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur’an yang terjemahan atau ada tafsirnya.

Adapun pendapat-pendapat yang memperbolehkan wanita haid menyentuh mushaf adalah ayat di atas kurang sempurna untuk dijadikan dalil, kecuali setelah ditambah dengan ayat sebelumnya, yaitu :

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ (79)

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77) pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh) (78), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan (79)”

Berdasarkan ayat-ayat di atas, mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa kata ganti hu pada kata laa yamassuhu di atas merujuk kepada kitab yang tersimpan di langit, yaitu Lauhul Mahfuzh. Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, yaitu kitab yang ada di langit. Sedangkan yang dimaksud dengan Al-Muthaharuun (orang-orang yang disucikan) adalah para malaikat.

Adh-Dhahak berkata :”Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad shalallahu ’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya. (Lihat Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari)

Hal ini diperkuat juga dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat ‘Aabasaa ayat 13-16 :

فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14) بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16)

“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (13) yang ditinggikan lagi disucikan (14) di tangan para penulis (malaikat) (15) yang mulia lagi berbakti (16)

Dalam Naylul Author milik Imam Asy-Syaukani, Kitab Thoharoh, Bab Iijabi Al-Wudhu’ lii Ash-Sholati wa Ath-Thowaf wa massu Al-Mushaf disebutkan :”Hamba-hamba yang disucikan adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mukmin selamanya bukan orang yang najis, berdasarkan hadits Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam :

الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ

“Orang mukmin itu tidaklah najis.” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Maka kurang pas apabila arti (hamba) yang disucikan adalah orang yang tidak junub, haid, atau pun orang yang sedang berhadats. Karena orang Islam suci dan tidak najis, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 28 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,“

Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam juga melarang bepergian membawa mushaf ke negeri musuh (kafir). Di samping itu, lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut dalam bentuk isim maf’ul yaitu al-muthoharuun (orang-orang yang disucikan) bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu keduanya memiliki makna dan maksud yang berbeda.

Wanita yang sedang haid boleh membawa mushaf Al-Qur’an tanpa harus menyentuhnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa dia melihat wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an di dalam gendongannya :

وَكَانَ أَبُو وَائِلٍ يُرْسِلُ خَادِمَهُ وَهْىَ حَائِضٌ إِلَى أَبِى رَزِيْنٍ, فَتَأْتِيهِ بِالمُصْحَفِ فَتُمسِكُهُ بِعِلاَقَتِهِ

“Abu Wail mengutus pembantunya yang sedang haid menemui Abu Razi, kemudian dia membawa mushaf di dalam ikatan yang menghubungkan dengan keranjangnya (membawa barang yang digendong).” (HR. Bukhari)

Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang junub dan wanita sedang haid atau nifas diperbolehkan memegang mushaf yang ada terjemahnya atau ada tafsirnya. Sesuai dengan hadits tentang wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an digendongannya. Juga untuk menghormati mushaf Al-Qur’an dengan tidak memegangnya secara langsung dalam keadaan junub, haid, atau pun nifas, seperti menggunakan sarung tangan ketika menyentuh mushaf.

Nah, itulah hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang masih menjadi ikhtilaf di kalangan jumhur ulama. Tetep nggak ada kan larangan wanita haid tidak boleh memotong kuku, mencuci rambut, apalagi tidur siang?
Wallahu ta’ala a’lam

Sumber :
- Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
- Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Tamamu Al-Minah fii At-Ta’liiq alaa Fiqh As-Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Naylu Al-Author, Imam Asy-Syaukani
- Fiqhu Al-Mar’ah Al-Muslimah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin
- Darah Kebiasaan Wanita, Ustadzah Ainul Millah, Lc

4 komentar:

Unknown mengatakan...

mba, mau konfirmasi nih, kalo membaca al qur'an untuk tadarusan selama bulan ramadhan -meneruskan tadarus- boleh ngga ?

Anonim mengatakan...

Sebenarnya masalah keramas memang saat haid memang tidak ada dalil naqlinya, tapi ini bukan sekedar mitos. Menurut kesehatan, "Jangan Minum air Es,air soda,dan kelapa Saat Haid". "Jangan keramas karena pori" kepala sedang terbuka pd saat haid krn bisa menyebabkan sakit kepala (kena angin kepala) "sangat berbahaya" efek ini bisa di rasakan saat muda n saat tua"Jangan makan mentimun saat sdng haid karena getah yg ada pada mentimun bs menyebabkan haid tersisa didinding rahim...Selain itu saat sdng haid "Tubuh tdk boleh terbentur, terjatuh dan terpukul oleh benda keras terutama bagian perut karena bisa menyebabkan muntah darah, rahim bisa terluka " Riset membuktikan, minum es saat haid bisa menyebabkan darah haid tersisa di dinding rahim, setelah 5-10 thn dapat menyebabkan "KISTA & KANKER RAHIM".

Unknown mengatakan...

terimaksih ka infonya sangat menambah pengetahuan:)

www.cbs-bogor.net

Miliana mengatakan...

jadi tahu apa saja yang dilarang terimakasih

Elever Agency

Posting Komentar