muslimahfathina
- Masalah klasik yang hampir tidak pernah usai hingga saat ini, bagaimana
agar komunikasi ikhwan dan akhwat berjalan baik dengan tetap menjaga hijab.
Saya masih berpikir kenapa masalah ini bisa muncul. Ketika membaca buku men
from mars and women from venus, saya mulai sedikit memahami karakter ikhwan
dan akhwat dari segi psikologi. Saya mencoba melalukan beberapa pengamatan
kepada teman-teman saya terkait fenomena ini. Rapat demi rapat, kepanitiaan
demi kepantiaan, saya baru memahami bagaimana seorang pria berpikir tentang
perempuan dan perempuan berpikir tentang pria.
Untuk para
pria, perlu Anda pahami bahwa perempuan relatif lebih peka dan sensitif
ketimbang pria. Perempuan lebih tertata dalam menyusun agenda, maka sering kita
lihat perempuan lebih rapih dalam segala hal. Karena mereka melakukan sesuatu
dengan perencanaan, baik itu jangka pendek atau panjang. Perempuan yang bekerja
biasanya lebih rajin ketimbang pria, ini mengapa kita mulai melihat para
perempuan yang telah menjadi profesional atau pejabat, karena mereka rajin
dalam menjalankan tugas. Satu hal yang perlu diingat oleh para pria adalah
perempuan tidak suka di khianati dan perempuan itu butuh kepastian.
Untuk para
perempuan, perlu saya sampaikan bahwa pria memang cenderung egois dan
self-oriented. Seorang pria lebih bisa menghabiskan waktunya sendirian
ketimbang perempuan. Dan seorang pria ketika sudah masuk keduniannya akan sulit
untuk diganggu. Sebutlah seorang pria yang sedang badmood dan ia memilih untuk
sendiri untuk mengembalikan mood nya, maka ia akan sangat terganggu sekali jika
ada yang menggangu, bahkan sebuah sms bisa membuat mood nya lebih parah.
Sehingga seringkali ia mengabaikan panggilan yang ada. Saya menyebutnya, pria
mempunyai gua sendiri yang dimana hanya ia yang memahaminya, dan seorang
perempuan sepertinya harus menunggu pria ini keluar gua nya baru bisa memanggil
pria ini.
Pria relatif
lebih ingin diperhatikan dan dipahami, karena sedikit ”sentuhan” saja bisa
membuat seorang pria berpikir terbalik 180 derajat. Oleh karena itu, seorang
perempuan kiranya perlu memahani mengenai kebutuhan dasar pria ini untuk membentuk
pola komunikasi yang baik.
Pada kasus
nyata, bisa kita ambil contoh dua buah kisah yang saya akan beri pandangan
point of view yang harus diambil. Kisah pertama, sekelompok ikhwan dan akhwat
yang berada dalam sebuah kepanitiaan. Dimana mereka biasa menjalankan rapat
rutin untuk membahas segala sesuatu. Pada suatu ketika, ketua panitia dihadapi
pada sebuah kondisi dimana butuh keputusan cepat, padahal saat itu waktu sudah
menunjukan pukul 19.00, dan keputusan harus sudah ada malam itu juga. Sehingga ketua
panitia ( ikhwan tentunya ), memutuskan untuk mengumpulkan seluruh panitia
ikhwan untuk membahas masalah tersebut, dan terselesaikanlah masalah itu. Esok
siangnya seluruh panitia rapat kembali ( ikhwan dan akhwat ), dan ketua panitia
menceritakan kejadian malam hari itu, setelah mendengar cerita itu, pihak
panitia akhwat merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, akhwat
merasa hanya sebagai pelaksana keputusan dan berbagai keluhan lain.
*pada kasus
ini akhwat merasa di khianati dalam arti tidak diberi kepercayaan untuk ikut
berpikir bersama, atau merasa dilangkahi dalam mengambil keputusan.
*pria ketika
sudah mengerjakan sesuatu relatif keasikan sendiri sehingga lupa bahwa ada
pihak akhwat yang perlu dilibatkan.
Kisah kedua,
seorang ketua muslimah di sebuah lembaga dakwah mencoba meng-sms seorang ketua
LDK di waktu pagi hari ( sekitar waktu tahajud ), akhwat ini mengetahui bahwa
sangat tidak ahsan untuk meng-sms seorang ikhwan pada waktu tersebut, akan
tetapi, karena sebuah masalah yang perlu dibahas segera, dengan segala
pertimbangan dan kebulatan hati, ia memutuskan untuk meng-sms ketua LDK ini dan
meminta diadakan rapat mendadak pagi itu untuk membahasa hal yang penting. Akan
tetapi, dikarenakan ketua LDK ini sedang dilanda masalah pribadi yang membuat
dirinya tidak ingin diganggu untuk sementara waktu, maka ia tidak membalas sms
ketua muslimahnya. Mungkin dikarenakan, berbagai miscall yang dilontarkan oleh
akhwat ini, ketua LDK ini akhirnya memutuskan untuk membalas sms akhwat ini
dengan asalan saja dan seakan menggantungkan keputusan. Hingga akhirnya akhwat
ini mengancam sesuatu sehingga ketua LDK itu memutuskan untuk mengadakan rapat
di pagi harinya. Setelah menjalani rapat, akhwat ini meminta berbicara terhadap
ketua LDK, dan mengungkapkan kekecewaannya kepada ketua LDK ini dan mengatakan
bahwa ketidakpastian yang ketua LDK berikan membuat ia tidak tenang.
*perempuan
tidak suka ketidakpastian yang berlarut, butuh ketegasan sikap. Saya
merekomendasi kepada para pria untuk sesegera mungkin membalas sms akhwat
dengan baik untuk menghindari konflik seperti diatas.
*pria yang
sedang dilanda masalah tidak ingin diganggu, bahkan ketika kadar masalahnya
cukup tinggi, ia tidak ingin diganggu oleh amanah dakwah, ia lebih memilih
sendiri dan tidak bertemu dengan orang orang untuk sementara waktu.
Dengan
memahami karakter masing-masing ini, saya berharap Anda dapat mencoba mulai
mengaplikasikan hal untuk memahami kekurangan masing-masing. Bermula dari
pemahaman ini, selanjutnya saya akan memaparkan bagaimana cara lain untuk
membangun komunikasi yang baik dengan tetap menjaga batasan yang ada.
Hijab saat
rapat
Beberapa
kampus yang pernah saya kunjungi relatif punya cara tersendiri dalam
mengaplikasikan hijab dalam sebuah rapat, ada yang membatasa pria dan perempuan
dengan batas permanen seperti tembok, ada yang beda ruangan, ada yang dalam
bentuk papan setinggi dua meter, atau ada yang cukup dengan jarak 2 meter
antara ikhwan dan akhwat. Semua tergantung kebutuhan dan budaya di masing
masing kampus. Bagaimana pun bentuk hijab nya , ada beberapa hal yang perlu
dipenuhi, yakni :
1. Jelasnya
perkataan setiap anggota rapat
2. Tidak
membuat ikhwan dan akhwat terkesan rapat sendiri
3. Pemimpin
rapat bisa melihat semua peserta rapat ( ikhwan dan akhwat )
4. Kondisi
peserta harus tetap kondusif, jangan sampai karena terpisah oleh tembok, atau
papan besar membuat peserta rapat tidur-tiduran karena tidak tampak oleh lawan
jenis
5. Ada medua penghubung
informasi yang bisa dilihat oleh semua peserta, seperti papan tulis, agar tidak
terjadi assymetric information
6. Tidak
menimbulkan kesan angker atau eksklusif terhadap orang selain kader yang
melihat proses rapat.
Proses komunikasi yang efesien
Komunikasi
yang dilakukan antara ikhwan dan akhwat perlu diefesienkan sedemikan rupa, agar
tidak terjadi fitnah yang mungkin bisa terbentuk. Saya akan mengambil contoh
sms seorang ikhwan ke akhwat, dalam dua versi dengan topik yang sama, yakni
mencocokan waktu untuk rapat.
Versi 1
Ikhwan :
assalamu’alaikum ukhti, bagaimana kabarnya ? hasil UAS sudah ada ? J
Akhwat :
wa’alaikum salam akhie, alhamdulillah baik, berkat do’a akhie juga, hehehe, UAS
belum nih,
uhh, deg deg
an nunggu nilainya, tetep mohon doanya yah !!
Ikhwan : iya
insya Allah didoakan, oh ya ukhti, kira kira kapa yah bisa rapat untuk bahas
tentang acara ?
Akhwat :
hmhmhm… kapan yah ? akhie bisanya kapan, kalo aku mungkin besok siang dan sore
bisa
Ikhwan :
okay, besok sore aja dech, ba’da ashar di koridor timur masjid, jarkomin akhwat
yang lain yah
Akhwat :
siap komandan, semoga Allah selalu melindungi antum
Ikhwan : sip
sip, makasih yah ukhti, GANBATTE !! wassalamu’alaikum
Akhwat :
wa’alaikum salam
Versi 2
Ikhwan :
assalamualaikum, ukh, besok sore bisa rapat acara ditempat biasa ? untuk bahas
acara
Akhwat :
afwan, kebetulan ada quis, gimana kalo besok siang aja?
Ikhwan :
insya Allah boleh, kita rapat besok siang di koridor timur masjid, tolong
jarkom akhwat, syukron, wassalamu’alaikum
Dari dua
contoh pesan singkat ini kita bisa melihat bagaimana pola komunikasi yang
efektif dan tetap menjaga batasan syar’i. Pada versi 1 kita bisa melihat sebuah
percapakan singkat via sms antara ikhwan dan akhwat yang bisa dikatakan sedikit
“lebai” ( baca “ berlebihan ), sedangkan pada versi 2 adalah percakapan antara
ikhwan dan akhwat yang to the point, tanpa basa basi. Sebenarnya bagaimana kita
membuat batasan tergantung bagaimana kita membiasakannya di lembaga dakwah kita
saja. Perlu adanya leader will untuk membangun budaya komunikasi yang efesien
dan “secukupnya”.
Dalam hal
percakapan langsung, seorang ikhwan dan akhwat dilarang melakukan percapakan
berdua saja, walau itu di tempat umum. ketika terjadi percakapan langsung maka
akhwat meminta muhrimnya (sesama jenis kelamin) untuk menemaninya. Dengan itu
diharapkan pembicaraan menjadi terjaga dan meminimalkan kesempatan untuk
khilaf. Dengan melakukan pembicaraan yang secukupnya ini sebetulnya dapat lebih
membuat pekerjaan menjadi lebih cepat dan efektif. Karena setiap pembicaraan
yang dilakukan tidak ada yang sia sia, semua membahas tentang agenda dakwah
yang dilakukan.
—————————————————————————————————–
Interaksi
yang terjaga antara ikhwan dan akhwat dalam dakwah ditujukan agar segala
aktivitas yang dilakukan tidak sia-sia, tidak keluar dari koridor syar’i dan
agar Allah ridho sehingga pertolongan Allah akan segera datang untuk perjuangan
dakwah ini.
Allahu
Akbar!!!
sumber
berita dari :
http://muslimahfathina.co.cc/2011/04/24/komunikasi-ikhwan-dan-akhwat/
1 komentar:
lengkap banget infonya makasih
Elever
Posting Komentar