“Perempuan yang lagi haid nggak
boleh keramas lho!”
“Eh… kamu lagi haid ya? Kalau lagi
haid itu nggak boleh tidur siang lho!”
Pasti saudariku pernah mendengar
mitos-mitos seperti ini ketika sedang haid. Ada yang bilang kalau sedang haid
tidak boleh memotong kuku lah, mencuci rambut lah, memotong rambut lah,
sampai nggak boleh tidur siang. Bener nggak sih mitos-mitos itu?
Islam adalah agama yang syumul (sempurna)
yang mengatur tidak hanya masalah peribadatan tapi sampai hal-hal terkecil
dan sepele pun ada aturannya. Begitu juga dengan masalah haid, semuanya sudah
termaktub dalam Al-Qur’an yang diperkuat oleh As-Sunnah. Dari mulai ciri-ciri
darah haid, sampai hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika sedang haid. Jadi
Saudariku, tidak perlu lagi berpusing-pusing ria sama mitos-mitos yang belum
jelas kevalidan dan keshohihannya.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan
oleh wanita haid sendiri ada yang sudah menjadi kesepakatn ulama, dan ada
pula yang masih khilaf. Namun pada pembahasan kali ini, penulis hanya
akan membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang sudah
menjadi kesepakatan jumhur ulama. Adapun larangan yang sudah menjadi
kesepakatan ulama bagi wanita haid adalah sebagai berikut :
1.
Dilarang melakukan sholat dan tidak diwajibkan untuk mengqadhanya
Perempuan yang sedang haid, lepas
kewajibannya untuk mengerjakan sholat, baik itu sholat fardhu maupun sholat
sunnah. Dan tidak diwajibkan juga untuk mengqadha sholat, kecuali jika telah
masuk waktu sholat tetapi belum melaksanakan sholat kemudian keluar darah
haid. Maka wajib baginya untuk mengqadha sholat tersebut. Misalkan Tina belum
sempat mengerjakan sholat Dhuhur, padahal waktu sudah mendekati Ashar,
kemudian dia mendapatkan haid. Maka wajib bagi Tina untuk mengqadha sholat
Dhuhur tersebut ketika ia telah suci.
Dan apabila wanita haid telah suci
mendekati waktu Ashar, kemudian ketika ia mandi waktu Ashar tiba. Maka wajib
hukumnya bagi wanita itu untuk mengerjakan sholat Dhuhur dan Ashar pada hari
itu. Sama halnya ketika ia suci sebelum terbit fajar, ia berkewajiban untuk
mengerjakan sholat Maghrib dan Isya pada malam harinya. Karena, waktu sholat
yang kedua adalah waktu sholat yang pertama pada saat-saat uzur.
Jumhur ulama berpendapat –di
antaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad- jika seorang
wanita suci dari haid pada akhir siang, maka dia sholat Dhuhur dan Ashar. Dan
apabila suci pada akhir malam, maka dia sholat Maghrib dan Isya. Seperti yang
dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena
waktunya sama di antara dua sholat saat uzur. Maka apabila ia suci di akhir
siang, lalu waktu Dhuhur masih ada, maka ia mengerjakan sholat Dhuhur sebelum
Ashar. Jika ia suci pada akhir malam, lalu sholat Maghrib masih pada saat
uzur, maka ia mengerjakan sholat Maghrib sebelum Isya. (Lihat Majmu’
Al-Fatawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah)
2.
Dilarang melakukan shaum dan diwajibkan untuk mengqadha shaum
Perempuan yang sedang haid juga
diharamkan untuk shaum, baik itu yang wajib maupun yang sunnah. Dan
diwajibkan untuk mengqadha shaum yang wajib (shaum Ramadhan)
yang ditinggalkannya karena haid. Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda
:
أَلَيْسَتْ إِحْدَاكُنَّ إِذَا
حَاضَتْ لاَ تَصُوم وَلاَ تُصَلِّي
“Bukankah salah
seorang di antara kamu (wanita) apabila memasuki masa haid tidak sholat dan
tidak pula puasa?” (HR. Bukhari)
قَالَتْ عَائِشَة رَضِيَ الله
عَنْهَا: «كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّلاَةِ» متفق عليه
‘Aisyah
radhiyallahu ’anha berkata : “Kami diperintahkan untuk mengqadha shaum dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha sholat.” (HR. Muslim)
Apabila seorang wanita haid ketika
sedang berpuasa, maka batallah puasanya. Sekalipun hal itu terjadi menjelang
maghrib, dan wajib baginya mengqadha puasa hari itu apabila itu puasa wajib.
Namun, jika hanya merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib,
tetapi baru keluar darah setelah maghrib, menurut pendapat yang rajih puasanya
sah dan tidak batal. Karena darah yang masih berada di dalam rahim belum ada
hukumnya.
Begitu juga apabila suci menjelang
fajar dan telah berniat untuk berpuasa, maka puasanya sah. Syarat sahnya
puasa itu tidak tergantung pada mandinya, tidak seperti sholat. Seperti
halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam
keadaan junub dan belum sempat mandi, kecuali setelah terbit fajar, maka sah
puasanya. Hal ini berdasarkan haidts ’Aisyah radhiyallahu ’anha yang
mengatakan :
”Pernah
suatu pagi pada bulan Ramadhan, Nabi shalallahu
’alaihi wa sallam dalam keadaan junub karena jima‘, bukan
karena mimpi, lalu beliau berpuasa Ramadhan.“ (HR. Muttafaq ’alihi)
3.
Dilarang melakukan thawaf
Wanita yang sedang haid juga
dilarang untuk melakukan thawaf di Ka’bah, baik yang wajib maupun
sunnah, dan tidak sah thawafnya. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shalallahu
’alaihi wa sallam kepada ’Aisyah ketika ia sedang haid :
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجَّ غَيْرَ ألَّا تَطُوفِي
بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Lakukanlah
segala yang dilakukan oleh orang yang berhaji. Hanya saja, engkau tidak boleh
thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.”
(HR.Bukhari)
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa’i
antara Shafa dan Marwa, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina,
melempar jumrah dan amalan haji serta umrah. Dan selain itu tidak diharamkan.
4.
Dilarang melakukan hubungan seksual
Seorang istri yang sedang haid
dilarang melakukan hubungan seksual dengan suaminya. Dan si istri yang sedang
haid dilarang untuk menutup-nutupi keadaan dirinya yang sedang haid,
sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat Al-Baqarah
ayat 222 :
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً
فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu
kotoran", oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan
Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Rasulullah shalallahu ’alaihi
wa sallam juga menyebutkan larangan menggauli istri yang sedang haid
dalam haidts beliau :
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْئٍ إِلَّا النِّكاحَ
“Lakukanlah
apa saja kecuali berhubungan seksual.”
Maksud dari kata nikah di sini
bukanlah akad nikah, tetapi hubungan suami-istri atau jima’. Jumhur ulama
juga sepakat atas diharamkannya menggauli istri yang sedang haid. Syaikhul
Islam ibnu Taimiyah berkata : “Menyetubuhi wanita nifas sama hukumnya dengan
menyetubuhi wanita haid, yaitu haram menurut kesepakatan ulama.”
5.
Dilarang dijatuhi talak (cerai)
Seorang suami dilarang menjatuhi
menceraikan istrinya yang sedang haid, sebagaimana firman Allah subhanahu
wa ta’ala dalam surat Ath-Thalaq ayat 1:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذا طَلَّقْتُمُ النِّساءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai
nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)….”
Maksud adalah seorang istri
ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah. Hal ini hanya dapat dilakukakn
jika istri dalam keadaan suci dan belum digauli lagi. Masalahnya, seorang
wanita jika dicerai dalam keadaan haid, ia tidak siap menghadapi iddahnya,
karena haid yang dialaminya pada saat jatuhnya talak itu tidaklah terhitung
iddah. Jadi menjatuhi talak kepada istri yang sedang haid, haram hukumnya.
Nah, itu dia hal-hal yang tidak
boleh dilakukan oleh perempuan yang sedang haid berdasarkan nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang sudah menjadi kesepakatan jumhur ulama. Nggak ada kan
larangan-larangan untuk memotong kuku, mencuci rambut, memotong rambut,
apalagi tidur siang! Insya Allah pada pembahasan selanjutnya akan penulis
bahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh wanita haid yang terdapat
perbedaan di antara jumhur ulama (khilafiy).
Wallahu
a’lam bishowab
Sumber : Syaikh Muhammad Bin
Shaleh Al 'Utsaimin
-
Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa', Syaikh Muhammad bin
Sholih Al-‘Utsamin
|
6.
Membaca Al-Qur’an
Apakah wanita yang sedang haid
boleh membaca Al-Qur’an? Pernahkah Saudariku mendengar pertanyaan ini? Atau
bahkan pertanyaan ini juga ada dalam benak Anda? Atau malah sering mendengar
pertanyaan seperti ini. Wa bil khusus dalam kajian-kajian fikih wanita pada
pembahasan haid, nifas dan istihadhah. Jawaban yang diberikan pun sepertinya
berbeda-beda, ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan.
Terkadang perbedaan masalah furu‘ seperti ini membuat para wanita
kebingungan untuk memilih dibolehkan atau tidak. Apalagi bagi perempuan yang awwam
dan sudah ditanamkan sejak kecil, bahwa wanita yang sedang haid tidak
diperbolehkan untuk membaca Al-Qur’an. Pasti dia merasa tidak nyaman ketika
diminta untuk membaca Al-Qur’an di saat haid. Begitu juga sebaliknya, bagi
wanita yang sedari kecilnya sudah diberi pemahaman bahwa wanita yang sedang
haid boleh membaca Al-Qur’an, maka dia akan biasa saja membaca Al-Qur’an
walaupun sedang dalam keadaan haid.
Ada beberapa ulama yang tidak
memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an dan ada beberapa ulama yang
memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an. Adapun dalil-dalil jumhur ulama
yang tidak memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur‘an adalah hadits
dari Ismail bin ‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar :
لاَتَقْرَأُ الحَائِضُ وَلاَ الجُنُبُ مِنَ القُرْآنِ
شَيْئًا
“Wanita
yang sedang haid dan orang yang sedang dalam keadaan junub tidak boleh sama
sekali membaca Al-Qur’an.” (HR.At-Tirmidzi)
Tapi hadits ini derajatnya dhoif
(lemah), karena di dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat
bernama Ismail bin ‘Ayyas. Al-Baihaqi berkata : “Hadits ini perlu diperiksa
lagi. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, menurut keterangan yang sampai kepadaku
berkata : ‘Sesungguhnya yang meriwayatkan hadits ini adalah Ismail bin
‘Ayyasi dari Musa bin ‘Uqbah dan aku tidak tahu hadits lain yang
diriwayatkan, sedangkan Ismail adalah munkar haditsnya, apabila (gurunya)
berasal dari Hijaz dan Iraq.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan dari penduduk Hijaz, maka hadits ini dhoif.
(Lihat Irwaa’u Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-SabiilI, karya
Syaikh Nashiruddin Al-Albani)
Jumhur ulama hadits bersepakat
bahwa sanad hadits ini lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil
untuk melarang wanita haid membaca Al-Qur’an.
Adapun pendapat-pendapat yang
memperbolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
- Hadits yang tidak
memperbolehkan wanita haid dan orang yang sedang junub membaca Al-Qur’an
adalah dhaif. Jadi tak mengapa apabila wanita haid membaca AL-Qur’an ,
karena haditsnya tidak shahih.
- Hadits Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata :
“ Aku datang ke Makkah sedangkan aku sedang haid. Aku tidak melakukan
thowaf di Baitullah dan Sa’I antara Shofa dan Marwa. Aku memberitahu
keadaanku itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka
beliau bersabda :’Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang yang berhaji,
kecuali thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadits ini, orang
yang sedang haid boleh melakukan apapun kecuali thawaf di Ka’bah ketika
berhaji. Dan orang yang berhaji itu berdzikir kepada Allah dan membaca
Al-Qur’an.
Jadi, wanita yang haid tetap
dibolehkan untuk membaca Al-Qur’an, baik itu dengan murajaah (mengulang
hafalan) atau pun membaca Al-Qur’an untuk menghafal atau pun pembelajaran.
7.
Memegang Mushaf Al-Qur’an
Dalam permasalahan memegang mushaf
juga terdapat perbedaan. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang tidak
memperbolehkan wanita haid memegang mushaf. Perbedaan pendapat itu berasal
dari perbedaan penafsiran surat Al-Waqiah ayat 79 :
لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.”
Ahli tafsir berbeda pendapat dalam
mengartikan dhamir (kata ganti) hu dalam kata laa yamassuhu.
Pendapat pertama, apabila dhamir hu yang dimaksud adalah
Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfuzh.Maka maksud dari orang-orang
yang disucikan di sini adalah malaikat. Maka wanita yang sedang haid
boleh menyentuh mushaf Al-Qur’anyang ada di bumi.
Pendapat kedua, apabila dhamir
hu dalam kata laa yamassuhu maksudnya adalah mushaf Al-Qur’an
yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan
adalahorang-orang Islam. Karena semua orang Muslim suci dari kemusyrikan dan
kekufuran. Maka yang tidak boleh menyentuhnya adalah orang-orang kafir yang
tidak ber-Islam.
Pendapat ketiga, apabila dhamir
hu yang dimaksud dalam laa yamassuhu adalah mushaf Al-Qur’an
yang ada di bumi. Kemudian yang maksud dari orang-orang yang disucikan adalah
orang-orang yang suci dari hadats besar atau kecil. Oleh karena itu
orang-orang yang belum bersuci dari hadats besar atau kecil tidak
diperbolehkan memegang mushaf. Pendapat ketiga ini diperkuat dengan
hadits dari Abi Bakar bin Muhammad bin ’Amr bin Hazm dari bapaknya dari
kakeknya bahwasanya Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menulis surat
kepada penduduk Yaman yang di dalamnya terdapat tulisan :
لا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
”Tidak
boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.“ (HR. Al-Atsram dan Daruquthni)
Sanad hadits ini dhaif ,
karena sebagian sanadnya dhaif dan sebagiannya riwayat shahifah (lembaran)
yang tidak ada sanadnya. Namun Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Irwaa’u
Al-Ghoyli fii Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill.
Dan pendapat yang keempat,
apabila dhamir hu dalam kata laa yamassuhu maksudnya adalah mushaf
Al-Qur’an yang ada di bumi. Dan yang dimaksud dengan orang-orang yang
disucikan adalah orang-orang yang suci dari hadats besar. Maka wanita
haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an, tetapi diperbolehkan
menyentuh mushaf Al-Qur’an yang terjemahan atau ada tafsirnya.
Adapun pendapat-pendapat yang
memperbolehkan wanita haid menyentuh mushaf adalah ayat di atas kurang
sempurna untuk dijadikan dalil, kecuali setelah ditambah dengan ayat
sebelumnya, yaitu :
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (77) فِي
كِتابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ (79)
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77) pada kitab yang
terpelihara (Lauhul Mahfuzh) (78), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan (79)”
Berdasarkan ayat-ayat di atas,
mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa kata ganti hu pada kata laa
yamassuhu di atas merujuk kepada kitab yang tersimpan di langit, yaitu Lauhul
Mahfuzh. Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, yaitu kitab
yang ada di langit. Sedangkan yang dimaksud dengan Al-Muthaharuun
(orang-orang yang disucikan) adalah para malaikat.
Adh-Dhahak berkata :”Mereka
(orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al-Qur’an
kepada Muhammad shalallahu ’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan
kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.
(Lihat Jami’il bayan fii Tafsiril Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari)
Hal ini diperkuat juga dengan
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat ‘Aabasaa ayat 13-16 :
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ (13) مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ (14)
بِأَيْدِي سَفَرَةٍ (15) كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16)
“Di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan (13) yang ditinggikan lagi disucikan (14)
di tangan para penulis (malaikat) (15)
yang mulia lagi berbakti (16)
Dalam Naylul Author milik
Imam Asy-Syaukani, Kitab Thoharoh, Bab Iijabi Al-Wudhu’ lii Ash-Sholati wa
Ath-Thowaf wa massu Al-Mushaf disebutkan :”Hamba-hamba yang disucikan
adalah hamba yang tidak najis, sedangkan seorang mukmin selamanya bukan orang
yang najis, berdasarkan hadits Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam :
الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
“Orang
mukmin itu tidaklah najis.” (HR.
Muttafaq ‘alaih)
Maka kurang pas apabila arti
(hamba) yang disucikan adalah orang yang tidak junub, haid, atau pun orang
yang sedang berhadats. Karena orang Islam suci dan tidak najis, sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 28 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ
نَجَسٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,“
Rasulullah shalallahu ’alaihi
wa sallam juga melarang bepergian membawa mushaf ke negeri musuh (kafir).
Di samping itu, lafadz yang digunakan dalam ayat tersebut dalam bentuk isim
maf’ul yaitu al-muthoharuun (orang-orang yang disucikan) bukan
dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu keduanya
memiliki makna dan maksud yang berbeda.
Wanita yang sedang haid boleh
membawa mushaf Al-Qur’an tanpa harus menyentuhnya, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
bahwa dia melihat wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an di dalam
gendongannya :
وَكَانَ أَبُو وَائِلٍ يُرْسِلُ خَادِمَهُ وَهْىَ حَائِضٌ
إِلَى أَبِى رَزِيْنٍ, فَتَأْتِيهِ بِالمُصْحَفِ فَتُمسِكُهُ بِعِلاَقَتِهِ
“Abu
Wail mengutus pembantunya yang sedang haid menemui Abu Razi, kemudian dia membawa mushaf di dalam ikatan yang
menghubungkan dengan keranjangnya (membawa barang yang digendong).” (HR.
Bukhari)
Penulis lebih cenderung kepada
pendapat yang mengatakan bahwa orang yang junub dan wanita sedang haid atau
nifas diperbolehkan memegang mushaf yang ada terjemahnya atau ada
tafsirnya. Sesuai dengan hadits tentang wanita haid yang membawa mushaf Al-Qur’an
digendongannya. Juga untuk menghormati mushaf Al-Qur’an dengan tidak
memegangnya secara langsung dalam keadaan junub, haid, atau pun nifas,
seperti menggunakan sarung tangan ketika menyentuh mushaf.
Nah, itulah hal-hal yang tidak
boleh dilakukan oleh wanita haid yang masih menjadi ikhtilaf di
kalangan jumhur ulama. Tetep nggak ada kan larangan wanita haid tidak boleh
memotong kuku, mencuci rambut, apalagi tidur siang?
Wallahu
ta’ala a’lam
Sumber :
- Jami’il bayan fii Tafsiril
Qur’an, Ibnu Jarir Ath-Thabari
- Irwaa’u Al-Ghoyli fii
Takhriiji Ahadits Manaar As-Sabiill, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Tamamu Al-Minah fii At-Ta’liiq
alaa Fiqh As-Sunnah, Syaikh Nashiruddin Al-Albani
- Naylu Al-Author, Imam
Asy-Syaukani
- Fiqhu Al-Mar’ah Al-Muslimah,
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin
- Darah Kebiasaan Wanita,
Ustadzah Ainul Millah, Lc
|
4 komentar:
mba, mau konfirmasi nih, kalo membaca al qur'an untuk tadarusan selama bulan ramadhan -meneruskan tadarus- boleh ngga ?
Sebenarnya masalah keramas memang saat haid memang tidak ada dalil naqlinya, tapi ini bukan sekedar mitos. Menurut kesehatan, "Jangan Minum air Es,air soda,dan kelapa Saat Haid". "Jangan keramas karena pori" kepala sedang terbuka pd saat haid krn bisa menyebabkan sakit kepala (kena angin kepala) "sangat berbahaya" efek ini bisa di rasakan saat muda n saat tua"Jangan makan mentimun saat sdng haid karena getah yg ada pada mentimun bs menyebabkan haid tersisa didinding rahim...Selain itu saat sdng haid "Tubuh tdk boleh terbentur, terjatuh dan terpukul oleh benda keras terutama bagian perut karena bisa menyebabkan muntah darah, rahim bisa terluka " Riset membuktikan, minum es saat haid bisa menyebabkan darah haid tersisa di dinding rahim, setelah 5-10 thn dapat menyebabkan "KISTA & KANKER RAHIM".
terimaksih ka infonya sangat menambah pengetahuan:)
www.cbs-bogor.net
jadi tahu apa saja yang dilarang terimakasih
Elever Agency
Posting Komentar